Pernahkah
kalian mendengar tentang superhero ???
Apa
yang pertama kali kalian pikirkan jika mendengar tentang superhero ???
Yaaa,
pasti kalian langsung berpikir
mengenai sosok pahlawan yang memiliki kekuatan super yang mampu mengalahkan
penjahat.
Tentunya
superhero yang kalian bayangkan tersebut merupakan superhero yang hanya ada di
cerita fiksi dan komik saja. Tapi apakah ada sosok superhero lain yang
benar-benar ada di kehidupan nyata saat ini ??
Yaaa,
tentu saja ada. Namun superhero yang satu ini tidak memiliki kekuatan super. Jangan salah, kekuatan yang
sesungguhnya tidak kalah dengan kekuatan super yang ada di cerita fiksi maupun
komik.
Mari cari tahu kekuatan apa yang di
miliki oleh superhero yang satu ini !!
Saat sang mentari yang sangat terik
menyinari sawah di desa Nangsri Kabupaten
Klaten, seorang lelaki yang sudah tidak
bisa lagi dikatakan muda dengan pakaian tidak berlengan lengkap dengan topi
kesayangannya justru sedang bergelut dengan rutinitasnya menggarap sawah yang ditanami
sayuran. Nampak wajah yang begitu menunjukkan
keletihan,
namun matanya menunjukkan
rasa yakin saat menyemprotkan obat untuk tanamannya itu.
Lelaki yang lahir 54 tahun silam itu
orang memanggilnya dengan sebutan Grandong,
walau di KTP aslinya ia bernama Ngadimin.
Ia
merupakan ayah dari satu orang anak hasil pernikahannya dengan
wanita bernama Sulastri. Menurutnya ia telah bertani sejak usianya masih 15
tahun. Maklum saja ia tidak
meneruskan pendidikannya karena faktor
ekonomi. “Saya
sejak dulu hidup bergantung pada sawah dan tanaman ini. Jika kadang gagal panen
atau harga sayuran di pasar tidak stabil,
saya juga menjadi buruh srabutan.
Memang hal ini sangat membuat saya begitu kecapaian. Namun apa boleh buat, saya punya anak yang
mempunyai harapan tinggi untuk keluarganya,“ ujarnya sambil melepas
topi.
Di pinggiran kota Klaten sendiri
mayoritas penduduknya memang menggantungkan hidupnya dari hasil bertani.
Berbagai jenis sayuran ada dan ditekuni oleh para petani di kota bersinar ini.
Hal tersebut sangat berpeluang untuk bisa menjadi lapangan kerja bagi penduduk
yang tidak memiliki
pekerjaan tetap. Banyaknya para petani sayuran di kota ini menjadikan harga
sayuran menurun. Hal
ini terlihat di berbagai pasar yang tidak mau menerima suplai dari petani.
Menurut Grandong,
biasanya masa panen untuk sayur jenis mentimun tidak terlalu lama, hanya butuh
waktu 35 hari dari penanaman bibit hingga masa panen. Kalau harga di pasar lagi
bagus, biasanya bisa
menghasilkan keuntungan sampai Rp 5
juta per panen. Namun
jika harga sedang anjlok kerugian juga bisa mencapai Rp 5 juta perbulan. “Seperti bulan
lalu harga sayuran mentimun agak goyah, namun bagaimanapun hasilnya tetap
harus saya syukuri, yaaa alhamdulilah biaya SPP kuliah anak saya masih bisa
terbayar semester ini”. ujarnya sambil mengelap keringat.
Dengan hasil yang tidak menentu
tersebut tentu saja Grandong harus bisa memutar otak untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Istrinya dirumah hanya
sebagai buruh jahit sarung tangan,
tentu saja penghasilannya tidak
cukup untuk hidup mewah. Untung saja anak satu-satunya yang sedang menempuh
pendidikan gelar sarjana tersebut tidak malu membantu pekerjaan sang ayah
maupun sang ibu.
Hidup di desa memanglah harus selalu
mempunyai rasa toleransi tinggi, harus selalu bisa dimintai tolong jika orang
lain membutuhkan. Itulah yang selalu ada dalam benak grandong, walaupun ia
seorang petani biasa dan harus mempunyai tanggung jawab untuk meluluskan
anaknya menjadi sarjana, namun ia tidak pernah lupa sama yang namanya berbagi.
Jika sudah waktunya panen, Grandong
selalu membagikan
hasil sayurannnya untuk tetangga sekitar. Memanglah hal tersebut terlihat biasa
saja, tetapi jika
dibandingkan dengan ekonominya pak Grandong
sendiri tenju saja kita sebagai pembaca akan memberikan nilai lebih. “Saya memang kalau ada
hasil panen selalu membagi hasil panen saya ke tetangga mas. Itu menjadi saya
semangat jika saya bisa berbagi,”
ujarnya.
Agama merupakan tiang kehidupan,
tanpa agama tentu saja manusia akan menjadi manusia yang hidup tanpa aturan dan
manusia yang tidak menahu
apa yang harus ditakuti. Itulah yang selalu muncul dalam pemikiran Grandong. Ia
dalam soal beribadah tidak bisa di bilang remeh. Saat waktu sholat tiba ia tidak
pernah lupa kewajibannya sebagai umat Islam
yang senantiasa menjalankan perintah agama. Masyarakat sekitar sudah hafal jika
waktu sholat tiba Grandong akan selalu
datang paling pertama di masjid untuk mengumandangkan azan. Jika di bandingkan
dengan zaman Rasullah ia seperti sahabat yang bernama Sya’ban, hehe. Apapun
kesibukan yang sedang ia lakukan, Grandong
selalu menghentikan waktunya untuk beribadah. “Ya namanya juga hidup mas, kita harus
selalu ingat dengan siapa kita diberi kehidupan, percuma mas kalau kita hidup
tapi tidak mau menyembah siapa yang mau memberi kehidupan”. Katanya dengan
raut wajah sumeh.
Penduduk sekitar mengenal Grandong sebagai orang
tua yang bisa dijadikan panutan. Bukan
hanya anak remaja yang menghormatinya, namun orang tua lainnya pun juga sangat
suka dengan kepribadiannya. “Ya saya sangat akrab
dengan Grandong, dia adalah
seorang ayah yang selalu bekerja keras untuk keluarganya, bahkan belum lama ini
saya dibuat cengang oleh Grandong
karena ia berhasil membelikan mobil baru untuk anak dan istrinya. Pokoknya Grandong itu sangat
dihargai di desa mas,”
ujar pardi, petani teman
grandong.
Di era sekarang ini memang banyak
persaingan dalam hal pertanian sangatlah ketat. Hal ini dikarenakan adanya fakor dari
hasil pertanian daerah lain, ditambah
lagi pasokan impor dari Negara lain yang marak terjadi. Jika masalah ini
benar-benar dirasakan para petani di desa pinggiran Klaten mereka tidak
segan-segan untuk melakukan demo mogok bertananam. Namun hal demikian tidak
pernah dilakukan oleh Grandong
mengingat hasil bertani adalah satu-satunya nyawa bagi keluarganya, karena bekerja
srabutan sangatlah bergantung pada orang lain. Bagi saya keluarga adalah hal
paling berharga, terlebih lagi anak saya dua, yang satu membutuhkan biaya besar
untuk kuliahnya, “yo rapopo mas dilakoni
wae, rejeki uwes diatur Gusti Allah kok rasah di gawe mumet, sek penting ojo
leli ngibadah,” ujarnya dengan bahasa Jawa ngoko.
Harapan Grandong, jika ada
kebijakan dari pemeritah mengenai hasil tani lokal, ia sangat menginginkan
hasil tani lokal diprioritaskan. Bukan
seperti yang terjadi saat ini, di mana
impor hasil tani dari negara
lain seperti Kamboja, Vietnam dan India masih menjadi lirikan pemerintah untuk
mencukupi kebutuhan di Indonesia. Menurutnya,
hasil pertanian di Indonesia sudah bagus dan malah aman untuk dikonsumsi karena
tidak memakai obat yang berbahaya.(Andan Sidik Sadewo)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar