Kamis, 02 Agustus 2018

Pantang Pulang Kalau Tak Bawa Uang




BANYAK tukang becak mangkal di sepanjang Jalan Malioboro, pusat Kota Yogyakarta. Gonjang adalah salah satu dari sekian banyak tukang becak yang menunggu penumpang di sana. Pria yang akrab dipanggil Gonjang oleh teman-temannya ini tinggal di Desa Ngentak Pendowoharjo Sewon Bantul.
Walau di bawah teriknya sinar matahari, laki-laki ini tidak mengeluh dan tetap semangat mencari rezeki untuk menghidupi anak semata wayangnya, termasuk menyekolahkan anaknya meskipun hanya sampai kelas XII SMA. Suami Tukidah ini memiliki motivasi yang tinggi, yaitu pantang pulang sebelum dapur ngebul. Maksudnya, Gonjang tidak mau pulang ke rumah jika tidak membawa pulang uang hasil dari menarik becak.
Bapak beranak satu ini setiap hari biasa mangkal (menunggu penumpang) di depan gapura Kelurahan Dagen di bagian barat Jalan Malioboro. Selain mangkal di sekitar Jalan Malioboro, laki-laki yang hobi mancing ini juga mangkal di depan pasar Niten Baru di Jalan Bantul. Lokasi Pasar Niten Baru dekat rumahnya. Karena itu, setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB suami Tukidah ini mencari penumpang di Pasar Niten Baru, di mana pada saat itu banyak orang pergi ke pasar untuk berbelanja. Kemudian pukul 11.00 WIB, Gonjang pulang untuk makan siang dan melaksanakan salat Dhuhur. “Biasanya setelah selesai salat Dhuhur, saya melanjutkan narik becak di sekitar Jalan Malioboro sampai pukul 17.00 WIB,” ujar laki-laki kelahiran Bantul.
“Paling banyak saya mengantar penumpang dari Malioboro sampai Kraton. Saya memasang tarif Rp 10.000 untuk sekali antar. Itupun masih diprotes sama penumpang kok tarifnya mahal. Padahal harga tersebut tidak sebanding dengan tenaga saya buat ngayuh becak,” kata laki-laki ramah ini.
Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan tukang becak rata-rata sekitar Rp 50.000 setiap harinya. Pada liburan sekolah, penghasilannya bisa mencapai Rp 70.000. “Selain bekerja sebagai tukang becak, setiap habis Subuh saya juga bekerja mengantar koran ke rumah pelanggan, sekolah-sekolah, warung kelontong, dan warung makan,” ucap laki-laki yang biasa makan di angkringan ini.
Hasil dari bekerja mengantar koran sekitar Rp 20.0000 setiap harinya. Penghasilan tersebut dinilai masih kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya juga membantu memenuhi kehidupan keluarganya berjualan pecel dan minuman di depan rumahnya. Walau penghasilannya tidak sebesar Gonjang, istrinya tetap semangat berjualan untuk menambah penghasilan keluarga dan meringankan beban suaminya.
Pekerjaan menjadi tukang becak sudah digeluti sejak tahun 1981. Maka banyak pengalaman yang ditemuinya selama menjadi tukang becak. Salah satunya di marah-marahi penumpang karena tidak memiliki uang kembalian. Tetapi Gonjang tetap sabar menghadapi sikap penumpang. Ia malah menggratiskan jasa becaknya dan meminta maaf kepada penumpang yang marah-marah itu. Sungguh tidak semua orang dapat memiliki sikap seperti ini. Jika hal ini terjadi pada kita, kita malah balik memarahinya. Sikap Gonjang tersebut dapat kita ambil dan kita tiru untuk diterapkan di kehidupan.
Ayah dari Sri Rahayu ini tetap berpegang Teguh dan bertahan sebagai tukang becak kayuh di sekitar Jalan Malioboro, meski transportasi di Yogyakarta semakin canggih dengan maraknya transportasi berbasis daring. Hal ini dikarenakan Gonjang menginginkan transportasi becak kayuh tetap eksis di tengah transportasi yang semakin modern. “Saya ingin melestarikan transportasi tradisional seperti becak kayuh agar tidak punah.” (Dyah Asri Widayati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuli Suswanti , Pendidik sekaligus Pebisnis Ulet

“Terus berusaha dan berdoa serta pintar membagi waktu” ITULAH prinsip yang dipegang teguh oleh Yuli Suswanti, seorang perem...