BANYAK tukang becak mangkal di sepanjang Jalan Malioboro, pusat Kota
Yogyakarta. Gonjang adalah salah satu dari sekian banyak tukang becak yang
menunggu penumpang di sana. Pria yang akrab dipanggil Gonjang oleh
teman-temannya ini tinggal di Desa Ngentak Pendowoharjo Sewon Bantul.
Walau di
bawah teriknya sinar matahari, laki-laki ini tidak mengeluh dan tetap semangat
mencari rezeki untuk menghidupi anak semata wayangnya, termasuk menyekolahkan
anaknya meskipun hanya sampai kelas XII SMA. Suami Tukidah ini memiliki
motivasi yang tinggi, yaitu pantang pulang sebelum dapur ngebul. Maksudnya,
Gonjang tidak mau pulang ke rumah jika tidak membawa pulang uang hasil dari
menarik becak.
Bapak beranak satu ini setiap hari biasa mangkal (menunggu penumpang) di
depan gapura Kelurahan Dagen di bagian barat Jalan Malioboro. Selain mangkal di
sekitar Jalan Malioboro, laki-laki yang hobi mancing ini juga
mangkal di depan pasar Niten Baru di Jalan Bantul. Lokasi Pasar Niten Baru dekat
rumahnya. Karena itu, setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB suami Tukidah ini
mencari penumpang di Pasar Niten Baru, di mana pada saat itu banyak orang pergi
ke pasar untuk berbelanja. Kemudian pukul 11.00 WIB, Gonjang pulang untuk makan
siang dan melaksanakan salat Dhuhur. “Biasanya setelah selesai salat Dhuhur,
saya melanjutkan narik becak di sekitar Jalan Malioboro sampai pukul 17.00 WIB,”
ujar laki-laki kelahiran Bantul.
“Paling banyak saya mengantar penumpang dari Malioboro sampai Kraton.
Saya memasang tarif Rp 10.000 untuk sekali antar. Itupun masih diprotes sama
penumpang kok tarifnya mahal. Padahal harga tersebut tidak sebanding dengan
tenaga saya buat ngayuh becak,” kata laki-laki ramah ini.
Penghasilan
yang diperoleh dari pekerjaan tukang becak rata-rata sekitar Rp 50.000 setiap
harinya. Pada liburan sekolah, penghasilannya bisa mencapai Rp 70.000. “Selain
bekerja sebagai tukang becak, setiap habis Subuh saya juga bekerja mengantar
koran ke rumah pelanggan, sekolah-sekolah, warung kelontong, dan warung makan,”
ucap laki-laki yang biasa makan di angkringan ini.
Hasil dari
bekerja mengantar koran sekitar Rp 20.0000 setiap harinya. Penghasilan tersebut
dinilai masih kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya juga membantu
memenuhi kehidupan keluarganya berjualan pecel dan minuman di depan rumahnya. Walau
penghasilannya tidak sebesar Gonjang, istrinya tetap semangat berjualan untuk
menambah penghasilan keluarga dan meringankan beban suaminya.
Pekerjaan
menjadi tukang becak sudah digeluti sejak tahun 1981. Maka banyak pengalaman
yang ditemuinya selama menjadi tukang becak. Salah satunya di marah-marahi penumpang
karena tidak memiliki uang kembalian. Tetapi Gonjang tetap sabar menghadapi
sikap penumpang. Ia malah menggratiskan jasa becaknya dan meminta maaf kepada
penumpang yang marah-marah itu. Sungguh tidak semua orang dapat memiliki sikap
seperti ini. Jika hal ini terjadi pada kita, kita malah balik memarahinya. Sikap
Gonjang tersebut dapat kita ambil dan kita tiru untuk diterapkan di kehidupan.
Ayah dari
Sri Rahayu ini tetap berpegang Teguh dan bertahan sebagai tukang becak kayuh di
sekitar Jalan Malioboro, meski transportasi di Yogyakarta semakin canggih
dengan maraknya transportasi berbasis daring. Hal ini dikarenakan Gonjang menginginkan
transportasi becak kayuh tetap eksis di tengah transportasi yang semakin
modern. “Saya ingin melestarikan transportasi tradisional seperti becak kayuh
agar tidak punah.” (Dyah Asri Widayati)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar